Sabtu, 28 Januari 2012

"Andai SK 188 Steriil Dari Skandal"


Tampak asap membumbung di Kantor Bupati Bima yang berdampingan dengan Kantor Walikota Bima
Aksi penolakan terhadap SK 188 yang diterbitkan oleh Bupati Bima (Ferry Zulkarnaen) mendapatkan perlawanan serius dari masyarakat Lambu dan Sape Bima NTB. Pasca insiden pembubaran dan penembakan warga di Pelabuhan Sape beberapa waktu yang lalu,. Bukannya menciutkan nyali warga di dua Kecamatan di ujung Timur Pulau Sumbawa itu. Terbukti Kamis 26 Januari 2012 kemarin puluhan ribu warga melakukan aksi massa menolak kebijakan Bupati Bima dengan melakukan long march menuju kantor Bupati Bima, setelah puas berorasi massa melempar dan membakar Kantor Bupati Bima serta Kantor KPU Kabupaten Bima. Pengerahan massa besar-besaran itu adalah puncak dari kemarahan warga atas keengganan Bupati untuk mencabut SK. 188 yang dinilai tidak populis bagi warga yang tercakup area / lokasi eksplorasi pertambangan yang dilakukan oleh PT. Sumber Mineral Nusantara. Aksi warga itu seolah memberikan pesan keras kepada pemerintah daerah khususnya Bupati Bima bahwa warga kedua Kecamatan tersebut tidak lagi membuka ruang dialogis bagi siapapun untuk bernegosiasi sepanjang SK 188 tidak dicabut. 

Desakan pencabutan SK. 188 tersebut sesungguhnya telah diminta oleh berbagai pihak, 2 (dua) fraksi di DPRD Kabupaten Bima sendiri dalam pandangan akhir fraksinya mendesak untuk dicabut. Alasannya jelas, selain mendapat perlawanan warga setempat, juga kalangan anggota dewan pun tidak pernah mengetahui terbitnya SK. 188. Sikap warga Sape dan Lambu tentu saja sangat beralasan, karena sedari awal mulai berlaku efektifnya SK. 188 atau dengan kata lain dimulainya kegiatan eksplorasi Tambang Mineral / Emas oleh PT. SMN di wilayah Lambu, warga setempat tidak pernah diajak bicara atau kompromi oleh jajaran pimpinan daerah. Upaya sosialisasi sendiri baru dilakukan setelah mendapat perlawanan/keberatan warga, itupun hanya dilakukan terbatas pada tingkat Camat dan Kepala Desa. Sementara sosialisasi menyeluruh dengan warga Lambu dan Sape tidak pernah dilakukan. Kondisi itu mengesankan adanya tidak transparansi Pimpinan Daerah sehingga terjadi miss komunikasi dan informasi terkait hadirnya PT. SMN yang dilegitimasi dengan dikantonginya SK. 188 dengan melakukan eksplorasi. 

Gayung bersambut resistensi warga yang terus meluas tidak diimbangi dengan upaya Pimpinan Daerah dengan melakukan konsolidasi dan komunikasi yang terbuka dan dapat dipahami warga, dalam kerangka menjelaskan urgensi kenapa pertambangan itu penting bagi daerah dan masyarakat, sisi positif dan negatifnya pertambangan. Sehingga harapannya dengan penjelasan terbuka dan komprehensif itu paling tidak warga akan memahami untung ruginya keberadaan tambang dimaksud, baik bagi mereka maupun bagi daerah. Hal ini tidak terjadi selama ini, sehingga efek dari ketidaktransparanannya Pimpinan Daerah itulah yang memotivasi warga untuk menolak kehadiran tambang tersebut. Selain itu, pemahaman warga dengan adanya rencana penambangan oleh perusahan, akan mengancam kehidupan warga terutama di desa-desa yang tercakup area sebagaimana yang tertuang dalam SK.188

Pro kontra tambang emas di Lambu lebih disebabkan oleh terbitnya SK. 188, atensi publik pasca insiden penembakan di Pelabuhan Sape justru tidak saja bicara pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Polri. Namun, diskursus mengenai eksistensi SK 188 ada apa dibalik SK. 188 terutama menyangkut keengganan Bupati Bima mencabut SK tersebut. Publik tentu menduga mengapa Bupati Bima selalu beralasan bahwa SK dimaksud tidak bisa dicabut. Jika alasan Bupati Bima SK. 188 baru dapat dicabut apabila salah-satunya telah terjadi pelanggaran hukum oleh perusahan. Mengapa ada pembiaran terhadap kegiatan PT. SMN yang telah melanggar ketentuan Pasal 50 UU No. 40 Tahun 2009 tentang kehutanan mengenai pinjam pakai lahan yang semestinya wajib mengantongi ijin dari Kementerian Kehutanan? Ada hal apa Bupati Bima mengajukan prasyarat agar tidak diproses hukum serta mengapa pula Bupati Bima meminta jaminan tertulis dari pemerintah pusat manakala SK. 188 dicabut ?

Sederet permintaan ini bukankah ada korelasinya dengan gelontoran dana puluhan milyar sebagaimana keterangan jajaran Manajer PT. SMN dihadapan forum Senator DPD RI. Satu hal yang mustahil permintaan perlindungan itu karena khawatir disalahkan oleh rakyat sebagaimana statemennya dihadapan publik. Spekulasi publik Bima saat ini kekhawatiran itu sesungguhnya bukan kepada masyarakat Bima. Namun lebih disebabkan oleh kekuatan PT. SMN yang akan memperkarakan Bupati Bima terkait aliran dana puluhan milyar dari PT. SMN merujuk pada kabar yang telah beredar. Menurut hemat penulis aliran dana dimaksud bukanlah masalah jika status dana puluhan milyar yang diakui telah dikeluarkan oleh PT. SMN itu sebagai jaminan kesungguhan PT. SMN pasca dikantonginya SK-eksplorasi oleh perusahan itu. Sebagaimana diatur dalam ketentuan UU No. 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan atau UU Minerba, yang mewajibkan perusahan untuk memberikan uang jaminan kesungguhan atau dengan kata lain uang itu merupakan kewajiban undang-undang bagi setiap perusahan pasca mendapatkan IUP/Eksplorasi. Akan menjadi persoalan apabila dana-dana yang dikeluarkan oleh PT. SMN sebagaimana pengakuannya, tidak terkait dengan kewajiban undang-undang yang seyogyanya harus dipenuhi oleh PT. SMN kemudian tidak dimasukan/disetorkan dalam KAS PEMDA Kabupaten Bima alias nyasar ke kantong-kontang pribadi dan kelompok. Konsekwensinya tentu harus di pertanggungjawabkan secara pribadi, baik pidana dan perdata oleh oknum-oknum yang menyelewengkannya. Tetapi, perkara itu akan bergulir jika Pertama PT. SMN merasa sebagai pihak yang dirugikan dengan dicabutnya SK 188. Kedua penyelewengan dana itu berapapun angkanya masuk kategori tindak pidana korupsi jika memang terkait dana yang merupakan kewajiban undang-undangnya perusahan. Dengan demikian untuk memastikan spekulasi akan hal itu wajib aparat hukum terutama PPATK, BPK dan KPK menelusuri aliran dana PT. SMN, apakah dana dimaksud terkait kewajiban undang-undang atau peruntukkannya dalam rangka memuluskan terbitnya SK. 188 ?

Andai SK.188 steril dari skandal hukum / politik atau SK. 188 tidak mengancam sumber kehidupan subsistensi warga Sape dan Lambu tidak akan sampai Bupati Bima meminta perlindungan hukum kepada pemerintah pusat, tidak akan terjadi pendudukan pelabuhan Sape Bima berikut pembubaran / penembakan terhadap demo massa sekaligus tidak akan terjadi pembakaran Kantor Bupati Bima. Mengapa, karena proses penerbitan SK.188 diduga terindikasi ada persoalan hukum yang tersangkut di dalamnya. Terutama menyalahi peraturan perundang-undangan baik pra maupun pasca terbitnya SK 188. Lebih penting dari itu yang harus digaris-bawahi bahwa mayoritas warga kedua Kecamatan itu merupakan pendukungnya Bupati Bima. Di Lambu misalnya, pada Pemilukada 2010 Pasangan Ferry Zulkarnaen-Syafruddin Nur unggul dengan suara mayoritas. Faktanya saat ini mayoritas warga Sape dan Lambu juga yang menuntut dicabutnya SK. 188. Fakta yang sama ketika massa melakukan aksi demo yang berujung pada pembakaran Kantor Bupati Bima baru-baru ini adalah pendukung-pendukung Bupati Bima pula. Oleh karena demikian dalam kerangka menemukan solusi komprehensif penyelesaian tambang emas di Lambu konsolidasi dan komunikasi yang efektif oleh Bupati Bima dengan konstituennya itu sangatlah penting. 

Ketegasan pemimpin dalam merespons dan melindungi kepentingan masyarakat yang dipimpinnya adalah jauh lebih penting ketimbang melayani hasrat orang-orang yang menggerogoti potensi alam yang menjadi aset masa depan bagi daerah ini.  Terlebih kepentingan bangsa Asing yang memiliki karakter utama sebagai penjajah. Terkecuali, pemimpin daerah telah dengan sengaja menjual potensi strategis di daerah ini dengan cara berkonspirasi dengan pihak Asing yang berkedok PT. SMN untuk satu tujuan yakni merampok seluruh kekayaan daerah untuk dibawa keluar pulau / negara meski harus melanggar hukum, menindas, menembaki warganya sendiri dengan memperalat tangan-tangan kekuasaan (TNI / Polri).

Urgensi wajib adanya Bupati Bima ditengah polemik ini ialah untuk menjawab desakan dan tudingan publik terhadap kebijakan Bupati Bima yang dinilai tidak berpihak pada kepentingan rakyat khususnya warga Lambu dan Sape, yang pada saat Pemilukada beberapa waktu silam telah mendukung all out kepentingan politiknya Ferry Zulkarnaen dengan meraih kemenangan 60 persen suara. Adalah sangat ditunggu-tunggu, tentu saja alasannya karena Bupati Bima adalah Pimpinan Daerah, sudah semestinya bertanggungjawab dengan situasi daerah yang dipimpinnya. Tidak pada tempatnya Bupati Bima berada diluar Kabupaten Bima ditengah situasi yang membutuhkan kehadirannya sebagai Kepala Daerah/penanggungjawab tertinggi keamanan/stabilitas daerah Bima. Konsolidasi tingkat stakeholders di daerah sangatlah penting untuk menunjukkan tanggungjawab sebagai Kepala Daerah meski disitu ada aparat keamanan. Namun, tidak akan maksimal konsolidasi dimaksud tanpa adanya Bupati sebagai Pimpinan Daerah. Hal yang sangat memalukan jika Bupati memilih diam dan menghilangkan diri dari masalah yang dihadapi daerahnya. Bukan tidak mungkin orang lain akan memberikan stigma seolah-olah Bupati Bima menjadi daftar pencarian orang (DPO) dengan memilih menghilangkan diri tanpa jejak. Wallahu'alam 

Sabtu, 14 Januari 2012

Hentikan Politisasi Tambang Emas di Lambu Bima

Skandal Hukum di Balik SK 188 Masih segar dalam memori kita bahwa di penghujung tahun 2011 kemarin, bangsa ini dihebohkan dengan beberapa tragedi kemanusian diantaranya yakni pembantaian di Mesuji baik Lampung maupun Sumatera Utara dan yang terbaru insiden berdarah di Kecamatan Lambu Kabupaten Bima. Kejadian-kejadian tersebut sontak menggemparkan publik oleh karena disebabkan oleh represifitas aparat keamanan khususnya Polri dalam penanganan konflik pertambangan antara warga dan perusahaan kemudian di bollow up media massa, sehingga begitu cepat di respon publik. Untuk kasus di Sape Bima pro kontra pertambangan bukanlah kejadian pertama, masih dalam tahun yang sama bentrokan pernah terjadi antara aparat dan Massa yang berujung pada pembakaran Kantor Camat Lambu disusul dengan kejadian Parado yang disertai dengan pembakaran Kantor Polsek Parado. Jika dirunut ke belakang insiden terkait penolakan pertambangan sudah berulangkali terjadi meski pada kejadian saat itu tidak ada korban jiwa yang meninggal. Belajar dari pengalaman tersebut seyogyanya baik pemerintah daerah khususnya Bupati Bima maupun aparat keamanan dalam hal ini institusi Polri dapat mengambil kesimpulan untuk melakukan evaluasi kembali kebijakan yang telah ambilnya untuk bagaimana menemukan solusi dan langkah penyelesaian yang tidak merugikan kedua belah pihak. Ketegasan sikap antara masyarakat yang tetap menolak pertambangan emas dan pada sisi yang lain Bupati Bima yang bertahan dengan kebijakannya pada akhirnya telah dibayar dengan biaya yang sangat mahal yaitu jatuhnya korban jiwa. Insiden berdarah di pelabuhan Sape adalah bukti nyata seolah aparat kepolisian terlebih pemerintah daerah mengalami kebuntuan epistem dalam menyelesaikan masalah secara komprehensif melalui cara-cara dialogis. Insiden itupula sekaligus mempertegas hukum kausalitas bahwa tragedi tersebut adalah efek domino dari berlaku efektifnya SK 188 yang menjadi biang kerok penolakan warga Lambu. Yang tidak boleh dilupakan dari polemik tambang emas di Lambu adalah proses terbitnya SK 188 yang terindikasi menyisahkan masalah hukum. Persoalan ini mencuat sehubungan dengan tingginya resistensi masyarakat setempat. Salah satunya mempersoalkan lokasi Ijin Usaha Pertambangan/IUP yang dikantongi PT. Sumber Mineral Nusantara yang mana lokasi dimaksud mencakup pemukiman warga Kecamatan Lambu. Selain hal itu penolakan beralasan karena kehadiran tambang emas itu dianggap merampas hak subsistensi masyakarat khususnya warga yang tercakup peta lokasi area pertambangan juga sementara dari sisi normatif eksplorasi PT. Sumber Mineral Nusantara telah melawan peraturan perundang-undangan yang ada. Salah satunya ketentuan pasal 50 UU 40 Tahun 2009 tentang Kehutanan.
Ada apa dibalik SK Maut 188 ?
Pasca insiden pembubaran paksa yang disusul dengan tragedi penembakkan oleh aparat kepolisian terhadap warga yang berujung pada meninggalnya 3 (tiga) orang warga Lambu Bima dan puluhan lainnya luka-luka. Berbagai spekulasi pun muncul seiring dengan banyaknya desakan berbagai pihak yang meminta agar Bupati Bima mencabut SK 188 yang dianggap menjadi pemicu utama terjadinya kasus kekerasan di Lambu baik jilid I maupun jilid II. Sederet pertanyaan yang mendesak dijawab ialah kepentingan siapa sesungguhnya yang sedang dilayani oleh Bupati Bima dan Pihak Kepolisian sehingga SK 188 wajib terealisir meski harus berdarah-darah ? Apa makna dibalik SK 188 sehingga Bupati Bima menolak mencabut SK 188 ? Benarkah proses penerbitan SK 188 sarat konspirasi dan pelanggaran hukum ? Rentetan pertanyaan ini mengemuka, setelah statemen Bupati Bima yang tegas menyatakan tidak akan mencabut SK 188 sebagaimana desakan publik. Tentu, alasan Bupati Bima normatif. Diantaranya yakni SK dapat dicabut apabila ada pelanggaran hukum yang telah dilakukan perusahaan. Selanjutnya yang paling menarik dari pernyataan Bupati Bima adalah Pertama kewenangan dalam mencabut ijin eksplorasi tambang emas yang dikantongi PT. Sumber Mineral Nusantara di wilayah Kecamatan Lambu merupakan ranah Pemerintah Pusat. Kedua harus adanya jaminan agar tidak diproses hukum apabila kebijakannya (SK 188) dicabut. Meski pernyataan itu meluluh-lantahkan paradigma ketatanegaraan terutama menyangkut pembagian serta tingkatan kewenangan pusat dan daerah sebagaimana juga diatur dalam Undang-undang yang ada. Hal itu jelas menunjukkan ketidakpahaman Bupati Bima akan kapasitasnya sebagai kepala daerah. Bilapun harus melibatkan pemerintah pusat tentu tidak pada konteks mencabut sebuah produknya Bupati terkecuali apabila kebijakan tersebut cacat yuridis yakni melawan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, itupun terbatas dan hanya bersifat rekomendatif apabila pemerintah pusat ambil bagian dalam menunda, membatalkan dan/atau mencabut kebijakan dimaksud. Jelas bahwa kebijakan/keputusan yang dibuat oleh kepala daerah merupakan ranahnya kepala daerah juga yang mencabutnya dengan berbagai dasar pertimbangan. Mencermati pernyataan Bupati Bima sebagaimana penulis ketengahkan diatas, memperkuat dugaan jika SK 188 terdapat persoalan hukum yang terkandung dalam proses penerbitannya. Alangkah lucu’nya seorang kepala daerah meminta jaminan tidak diproses hukum jika memang terbitnya SK 188 sudah sesuai koridor dan steril dari tindak pidana. Atau, tidak mungkin juga Bupati Bima meminta campur tangan pemerintah pusat untuk sama-sama bertanggungjawab jika bukan karena adanya konspirasi terselubung antara Kepala Daerah, Pemerintah Pusat, Investor bahkan Negara Asing. Analisa ini sangat wajar mengingat tidak adanya penjelasan yang bertanggungjawabnya dan dapat diterima dari Pemerintah Daerah dan oleh karena demikian hal ini patut dan seyogyanya perlu dilakukan investigasi mendalam oleh institusi penegak hukum dan instansi terkait lainnya. Sehingga harapannya menjawab juga terkait jaminan perlindungan hukum sebagai prasyarat dicabutnya SK 188 seperti yang dikehendaki Bupati Bima serta dengan berlakunya SK 188 tidak terus menerus menciptakan instabilitas wilayah dan daerah. Yang pada akhirnya adalah tidak terulang kembali aparat Polri dibenturkan dengan masyakarat di republik tercinta ini. Semoga